Jumat, 30 Maret 2012

Perang Dunia II Dan Psikologi



Siapa sangka ternyata Perang Dunia II dapat menghasilkan sebuah teori psikologi, tapi apa hubungannya Perang Dunia II dengan ilmu psikologi? Kedatangan Perang Dunia II, menyebabkan para antropolog psikologi menerapkan teori dan metode Antropologi  Psikologi untuk melukiskan watak dan proses struktur kepribadian tipikal (typical personality structure) suatu bangsa modern.

Tujuan utama penelitian teori watak bangsa adalah untuk lebih memahami kepribadian lawan, kawan, dan juga bangsa sendiri dalam masa perang. Teori Watak Bangsa ini adalah perluasan dari teori Antropologi Psikologi, dan di samping itu juga memberi sumbangan dasar pada teori induknya itu.

Kesukaran penelitian dalam hal mencari watak bangsa adalah tidak selalu dapat diperolehnya data langsung dari penelitian di lapangan. Oleh karenanya terpaksa harus dipergunakan pendekatan tidak langsung (indirect approach), dengan mempergunakan hasil penelitian di plapangan, yang dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain, atau mewawancarai responden khusus, dan sudah tentu dengan metode penelitian suatu kebudayaan dari kejauhan ( the study of culture at a distance). Metode yang terakhir ini adalah dengan cara meneliti folklor, keususastraan, film, drama, pidato politik dan propaganda, serta hasil kebudayaan lainnya dari bangsa bersangkutan.

Landasan penerapan teori Antroppologi Psikologi dalam penelitian watak bangsa sangat beraneka ragam, sehingga menimbulkan beberapa macam teori yang berlainan. Menurut Milton Singer, berbagai teori mengenai watak bangsa dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yakni:
a.       Watak bangsa yang dipandang sebagai watak kebudayaan (cultural        character).
b.      Watak bangsa yang dipandang sebagai watak masyarakat (social character).
c.       Watak bangsa yang dipandang sebagai kepribadian rata-rata (modal personality).




A. Teori Watak Bangsa Dipandang Sebagai Watak Kebudayaan.

            Konsep watak kebudayaan oleh Margaret Mead didefinisikan sebagai kesamaan sifat di dalam organisasi intra-psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu, yang diperoleh karena mengalami cara pengasuhan anak yang sama, di dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan. Konsep ini merupakan sintesa baru dari konsep kepribadian konfigurasi (configurational personality) Ruth F. Benedict, da konsep struktur kepribadian dasar (basic personality structure) Abram Kardiner dan kawan-kawan.

            Benedict sendiri telah menerapkan teori konfigurasi kebudayaannya (pattern of culture/ pola kebudayaan) untuk meneliti watak bangsa modern seperti Jepang. Hasilnya berupa buku berjudul The Chrysanthemum and the Sword (1946). Geofrey Gorer, soerang rekan peneliti Benedict, bahkan menitikberatkan praktek pengasuhan anak dalam penelitiannya terhadap watak bangsa Jepang (1943). Aspek-aspek tambahan inilah yang mendekatkan teori konfigurasi kebudayaan Benedict dengan teori struktur kepribadian dasar Kardiner dan kawan-kawan.

B. Teori Watak Bangsa Dipandang Sebagai Watak Masyarakat.

            Teori mengenai “watak kebudayaan” berasumsi bahwa di dalam setiap kebudayaan, suatu kepribadian tipikal (kepribadian kolektif) disalurkan kepada kaum mudanya, sedikit banyak sesuai dengan konfigurasi yang dominan di dalam kebudayaan bersangkutan. Teori Erich Fromm mengenai “watak masyarakat”  (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya, mengenai transmisi kebudayaan dalam hal “membentuk” kepribadian tipikal, namun ia telah juga mencoba, sebagai tambahan, untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historikal dari tipe-tipe kepribadian tersebut. Penjelasanya ini menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan, atau apa yang oleh Fromm disebut “watak masyarakat”, pada “kebutuhan objektif masyarakat” yang dihadapi suatu masyarakat.

            Menurut Fromm di dalam kebanyakan kebudayaan hubungan manusia selalu ditentukan oleh wibawa irrasional (irrational authority). Orang-orang berfungsi di dalam masyarakat kita, seperti halnya dalam masyarakat lainnya di dunia yang pernah dicatat oleh sejarah, dengan cara menyesuaikan diri mereka dengan peran masyarakat mereka. Walaupun masyarakat-masyarakat berbeda dalam arti sejauh mana anak-anaknya harus dibentuk oleh kekuasaan irrasional, ia selalu merupakan bagian dari fungsi pengasuhan anak yang hendak mewujudkannya. Pendapat Fromm tersebut berlandaskan pada humanistic ethics dan fisafat masyarakat tentang bagaimana potensi manusia dapat lebih baik direalisasikan di dalam “masyarakat yang waras” (sane sodciety).

C. Tepori Watak Banga Dipandang Sebagai Kepribadian Rata-Rata.

            Dalam suatu analisa kritis, komprehensif dan brilian mengenai kajian watak bangsa, sosiolog Inkeles dan psikolog Levinson, berargumentasi untuk penyempitan arti konsep “watak bangsa” menjadi struktur kepribadian rata-rata (modal personality structure).

            Menurut mereka “watak bangsa” seharusnya disamakan dengan “struktur kepribadian rata-rata”; yakni ia harus diartikan pada cara (mode) atau cara-cara dari distribusinya varian-varian kepribadian dalam masyarakat tertentu. Kesesuaian dengan kehendakk masyarakat (societal requiredness) atau kecocokan (congeniality) dengan pola kebudayaan, tidak usah merupakan bagian dari definisi watak bangsa. Kepribadian yang “dikehendaki masyarakat” patut memperoleh status yang independen, walaupun berarti dalam susunan yang berhubungan. Dengan memberikan perbedaan ini, tingkat sebangun dan serupa (congruence) di antara struktur kepribadian rata-rata dan keperluan-keperluan psikologi dari lingkungan sosial timbul sebagai suatu masalah penting untuk penelitian.

Jadi pada intinya, ternyata antara Perang Dunia II dengan dunia psikologi memiliki sebuah hubungan yang berupa teori-teori yang merupakan salahh satu metode atau cara yang ditemukan oleh para ahli Psikologi Antropologi untuk mengenal watak bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. jadi bagi kalian yang ingin menjadi tentara untuk berperang, kenali dulu lawan kalian hehee :D 



Sumber: Danandjaja, James. 1988. Antropologi Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.


1 komentar: